Selasa, 02 September 2014

“SUAMIKU LAKI-LAKI AKHIR ZAMAN”



Ilustrasi: andibm.blogspot.com
“Ustadz, saya selalu ingat nasehat Ustadz bahwa banyak akhwat masih sendiri yang ingin segera memiliki suami. Saya berusaha mengambil nilai plus dari mas Zayid. Alhamdulillah ia seorang lelaki soleh, baik,lembut dan sabar. Dia selalu mensupport semua pekerjaan saya. Sayang anak. Ini yang membuat saya merasa tenang dan tidak bisa dihargai apalagi ditukar dengan apapun. Nuwun sanget selalu diingatkan bersyukur punya suami, daripada sendiri dan galau...

Karena sejak menikah dengan mas Zayid,kami sama-sama tidak punya pekerjaan tetap, namun alhamdulillah keadaan ekonomi kami tetap dicukupi Allah. Saya yakin, ini adalah bagian kesolehan dia yang selalu solat tepat waktu dan rajin berdoa. Kami berjanji akan terus berusaha mencari nafkah bersama-sama.

Bisa membangun rumah, membeli mobil,liburan, membahagiakan orangtua dan keluarga. Hanya dari Allah’lah rejeki itu. Karena jika dihitung secara matematis kami gak ada gaji pasti.

Masya Allah Ustadz, terkadang kalau melihat mas Zayid saya menjadi malu sendiri. Dia lelaki soleh dan baik, sementara saya? Saya mudah emosi. Kini, saya belajar pasrah, saya yakin rejeki mutlak kuasa Allah.
Ustadz,yang harus kami pelajari saat ini adalah, jangan takut akan kehilangan rejeki Allah dan bagaimana masa depan anak-anak kelak? Serahkan sepenuhnya pada kehendak Allah. Itu ustad. Ini semua adalah simbol ketakutan wanita yang belum sepenuhnya tawakal, seperti saya.”


Itulah beberapa baris sms yang dikirimkan ustadz Ahmad kepadaku. Jleb, rasanya langsung mengena dan tiba-tiba mataku terbuka akan kebutaanku memandang rendah posisi suamiku. Selama ini ia kuvonis sebagai “lelaki yang senang berlindung di bawah ketiak istri”. Sebuah cap yang tentunya akan sangat menyinggung perasaan suamiku atau lelaki manapun, jika dia tahu stempel yang dibubuhkan istrinya tepat ke keningnya itu.
---------------

Pagi tadi aku memenuhi undangan ustadz Ahmad untuk mampir ke rumahnya, karena beliau mau menyerahkan uang hasil penjualan buku saku yang kuproduksi. Sebenarnya yang disuruh datang adalah mas Gandhi, namun suamiku ini sedang bertugas di Indonesia bagian Timur.

Kesempatan ini sangat kutunggu-tunggu. Sudah lama aku ingin berkonsultasi dengan Ustadz, serasa sudah diubun-ubun dan siap meledak semua beban yang selama ini kupikul. Bagaimana tidak? Selama hampir duapuluh tahun pernikahan kami, aku laksana tulang punggung keluarga. Hampir semua keperluan keluarga, aku yang memenuhinya, termasuk biaya pendidikan anak-anak. Mas Gandhi hanya kuharapkan mampu menyelesaikan cicilan rumah kami, yang entah kapan akan direnovasi. Menunggu ambruknya, barangkali. Itupun ia tertatih-tatih. Hampir setiap bulan kudengar keluhannya dikejar-kejar debt colector.

Yah, terasa terlalu sombong bukan? Tetapi itulah kenyataannya. Maka, betapa mengenanya (sakitnya itu di sini nih, sambil menunjuk dada), saat Ustadz meneruskan sms-sms dari salah seorang jama’ahnya tersebut kepadaku.

Maluuu rasanya diri ini. Membayangkan, betapa tak bersyukurnya aku. Sudah diberi suami idaman (sopan, pengertian, sayang keluarga, sederhana, taat beribadah dan tidak pernah neko-neko), tapi masih saja menuntut kesempurnaannya. Seolah aku adalah perempuan paling sempurna di dunia.

Hanya gara-gara mas Gandhi tidak mempunyai pekerjaan tetap, aku menganggap rendah dirinya, aku sering mengabaikan bahwa dia adalah kepala keluarga, aku sering mengambil keputusan sendiri tanpa pernah meminta pertimbangannya. Terakhir aku mengambil sebuah keputusan terbesar bagi kelangsungan pendidikan anak-anak kami dan lagi-lagi aku tidak meminta pendapatnya, karena aku beranggapan “Toh dia jarang berkontribusi dalam pembiayaan pendidikan anak-anak kami”. Hasilnya dapat diduga, mas Gandhi marah besar, namun syukurlah akhirnya dia mau menerima (tepatnya terpaksa menerima) keputusan “gila’ku itu. Bahkan kini, dia menjadi sebangsa jubir, menerangkan kenapa anak-anaknya melaksanakan pendidikan seperti itu.

Sekali lagi harus kuakui, selama ini mata hatiku telah tertutup oleh luapan emosi sebagai perempuan dan mengabaikan bahwa rejeki itu hak prerogatif Allah semata. Kita manusia hanya diminta untuk berusaha dan berdoa. Sebagaimana Allah swt telah mengingatkan dalam surat Al Baqoroh (QS 2): 212: "Dan Allah memberi rezeki kepada yang Dia kehendaki tanpa perhitungan"

Terimakasih Ustadz Ahmad, karena telah membuka wawasan dan pikiranku. Sekarang hatiku mulai tenang dan tiba-tiba kumerasa merindu...rindu yang teramat sangat kepada kekasih hatiku, sang belahan jiwa, yang sedang berjuang nun jauh di sana, di timur Indonesia, demi memperoleh rejeki halal yang kelak kan dipersembahkan bagi keluarganya tercinta.

Maafkan istrimu, Mas. Selama ini aku telah mengabaikan hak-hakmu, selama ini aku terlalu menuruti kata hatiku dan sempat membuatmu menderita dalam kesendirian. Kuharap sepulangmu esok, kita dapat merancang masa depan bersama tuk menggapaikan ridho Allah semata, karena ku tak ingin menjadi istri durhaka....
  


RaDal, 020914(01’18)
diolah dari sms seorang akhwat 


Ini lanjutannya...

14 komentar:

  1. Mba..begitulah syaithan dengan mudahnya menutupi nikmat yang Alloh berikan..tks untuk sharingnya..kunjungi balik yaa..;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ummi Aleeya.... Terkadang kita hanya melihat hal-hal negatif saja dan melupakan aspek positif yang dimiliki pasangan kita..
      Makasih udah berkunjung, insya Allah langsung meluncur kunbal... :-D

      Hapus
  2. nikmat manakah yang telah engkau dustakan, itulah kalimat yang berulangkali diingatkan Allah untuk manusia, hiks, semoga kita termasuk orang2 yang mensyukuri nikmatNya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mb Dina... Allah sudah mengingatkan sebanyak 31x dalam surat Ar rahman.. Fabiayyi alaa'i robbikuma tukadziban... Makasih sudah berkunjung. Siap2 nerima kubal yaa... :-)

      Hapus
  3. semoga kita semua termasuk orang-orang yang pandai bersyukur, karena dengan banyak bersyukur, nikmatNya semakin bertambah

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin... semoga ya mb Nurul... Makasih udah mampir. Giliran saya maen2 ke sana yaa... :-)

      Hapus
  4. terkadang pikiran-pikiran seperti ini sering muncul dalam benak saya, apalagi kalau dah capek ufff semoga selalu diingatkan dan istighfar untuk tak sombong terhadap suami. makasih sharingnya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mb Wida... Semoga kita terhindar dari sifat sombong terhadap suami dan menerima beliau apa adanya, toh kita juga bukan manusia yang sempurna kan? Terimakasih sudah mampir... :-)

      Hapus
  5. terima kasih sharingnya teh gina,nyungsepnya itu disini...(jleb!nunjuk dada,he..he..) semoga ini menjadi pelajaran berharga agarkita semakin menghargai suami. kunjung balik ya..nengokin "rumah" saya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata banyak perempuan bermasalah sama yaa...hahaha... Yuk, mari merapatkan barisan dalam satu atap "perempuan bersuamikan "lelaki akhir jaman" (lelaki idaman minus pekerjaan tetap) :-D
      Insya Allah meluncur ke rumah mb Alika... makasih sudah berkunjung....

      Hapus
  6. nice, terimakasih atas kisahnya.. aku juga pernah begini :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata, yah...Bunda Shidqi... Yang namanya perempuan, seringkali mengutamakan ego, padahal sesudah bisa berfikir tenang, keadaan tentu akan membaik... Terimakasih sudah berkunjung :-D

      Hapus
  7. ninggalin komen, ah...bukti aku udah ke sini....xixixi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh, ada kunjungan istimewa dari tamu spesial niih.. Monggo dicicipi hidangan seadanya :)

      Hapus

voa-islam.com Headline Animator