"Mas, rasanya lucu Dinda nulis surat ini, lha setiap hari kan kita ketemu. Tapi ya hanya ketemu secara fisik, hatinya masih belum pas.
Ada hal yang masih kurang Dinda rasakan dan berharap cepat dilakukan, mengingat umur yang makin berkurang. Mungkin Dinda salah, tapi ya itu yang Dinda rasakan.
Menurut Dinda, selama ini Mas hanya mengejar hal-hal yang bersifat duniawi semata. Padahal menurut ilmu yang Dinda dapat, kalau kita mengejar dunia ya dapetnya hanya dunia, tapi kalau kita mengejar akhirat, insya Allah akan mendapatkan dunia dan akhirat.
Contohnya begini,Sudah pernahkan Mas bicara dengan Didi secara panjang lebar, bagaimana tanggung jawab laki2, apa aja yang harus dilakukan, ngajak Didi ke mesjid tanpa harus diingatkan istrinya. memotivasi anak laki agar menjadi pemuda yang Islami. Atau menanyakan kepada anak2 perempuan kapan mereka berpakaian muslimah, bagaimana mereka nanti ke depannya, dll.
Dinda masih melihat Mas beribadah hanya untuk diri sendiri, supaya lancar dengan segala urusan kantor, supaya enggak di ganggu orang yang tidak suka, supaya keuangan keluarga lancar, supaya kalau keuangan keluarga lancar seolah-olah bisa bla bla bla. Padahal menurut Dinda semua itu dunia banget.
Pola pikir yang belum sama adalah, kalau Mas belajar bagaimana menjadi pemimpin dalam rumah tangga sesuai Qur'an, otomatis Mas belajar menjadi pemimpin yang dicintai semua orang, tanpa rasa khawatir dengan orang yang tidak suka.
Kalau Mas mencintai keluarganya karena Allah, pasti Allah akan melipat gandakan rejeki di dunia dan akhirat.
Nah kapan kita bisa duduk berdua dan diskusi hal ini, supaya kita bisa jadi 'manusia paling bahagia dunia akhirat' seperti judul bukunya Fahmi, siapa tahu kita bisa mengejar ketertinggalan kita menyongsong umur 60 tahun...
Semoga...ya Mas. Maafkan kalau ada kata-kata Dinda yang Mas rasa kurang berkenan.
Peluk dan Cium Sayang,
Dinda (istrimu yang prihatin)
========
Itulah sepucuk surat yang terpaksa kulayangkan kepada suamiku tercinta, ketika kesabaranku terhadap sikapnya yang kurasa kurang memberikan bimbingan ruhani kepada anak-anaknya sebagai seorang ayah, mulai goyah.
Yah, menurut ilmu yang kudapat dari pengajian, peran seorang ayah bukan hanya mencukupi kebutuhan fisik keluarganya saja, berupa sandang-pangan dan papan, seperti yang selama ini dipahami oleh masyarakat umum.
Tetapi lebih dari itu, seorang ayah dituntut untuk menjadi nahkoda, penentu arah "bahtera rumahtangga" berlayar, harus menjadi panutan lingkungan trutama di keluarganya, menjadi guru dan penasehat, menjadi teman dan sahabat bagi putra-putrinya, serta menjadi kekasih bagi istri tercintanya. Dia dituntut untuk selalu siap sedia mengayomi & melindungi...
Walau sehebat apapun badai menerjang, sosok seorang ayah harus setegar karang, sekukuh gunung menjulang namun selembut hembusan angin yang menggoyang dedaunan... (ternyata syusyah juga ya, jadi seorang ayah dan suami ideal..hehe)
Kembali ke surat yang kutulis dan kukirim by email sesaat setelah kendaraan suamiku menghilang dari pandangan... Kubaca-baca kembali isinya, sambil kubayangkan, kira-kira apa yang ada di benak suamiku kala menerima surat ini (yang seumur pernikahan kami menginjak tahun perak, tidak pernah sekalipun kutuliskan, selain sewaktu kami masih pacaran dulu)...
Malam itu, aku tertidur pulas, hingga esoknya kala sinar mentari menyapa ramah, tiba-tiba Mas Haris memeluk dan menciumiku mesra. Aach tidak biasanya dia begini...
"Makasih ya, sudah mengingatkan tanggungjawabku terhadap keluarga ini", bisiknya pelan di telingaku.
Ya...hanya segitu ucapan yang dilontarkannya. Mas Haris memang sosok pendiam, kalau tidak diajak bicara duluan, dia tidak akan memulai sebuah percakapan. Biasanya, akulah yang paling cerewet. Saking pendiamnya, kala kami melakukan perjalanan dari Bekasi ke Tangerang, aku sibuk bercerita hingga berbusa-busa, sedang Mas Haris hanya tersenyum di balik kemudi. Bayangkan, tiga jam penuh, aku dibiarkannya ndalang sendirian... Ampyun dah!!
Namun, semenjak peristiwa "email-ku" itu, mas Haris tiba-tiba berubah menjadi sosok yang lebih perhatian kepada anak-anak dan istrinya, menanyakan kemajuan hafalan surah anak-anaknya, memperhatikan cara berpakaian putri-putrinya, menanyakan pergaulan anak-anaknya dan yang terpenting selalu mengajak anak lelaki semata wayang kami sholat berjama'ah di Mesjid dekat rumah kami.
Alhamdulillah, akhirnya "cahaya" itu mulai menerangi rumah kami, sebagaimana firman Allah dalam surat At tahrim ayat 6: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan".
Tiba-tiba aku teringat akan sosok seorang Luqmanul Hakim, yang cakap memimpin, cakap mencari nafkah, benar-benar sosok suami dan ayah ideal.
Kurasa hal ini banyak dirasakan oleh mayoritas ibu-ibu rumahtangga, karena majelis ta'lim tak menawarkan kajian kerumahtanggaan kepada kaum ayah serta ajakan mengaji kepada para lelaki selalu ditampik atas dalih waktu yang tersita di perburuan nafkah, Khotbah-khotbah Jumat gak pernah membahas tentang menjadi suami. Sementara itu, buku dan seminar tentang keluarga tak menganggap laki-laki adalah pasarnya.
Tapi itu tak sepenuhnya kesalahan para lelaki. Kita, lingkungan, dan budaya patriarki kita yang feodal tak dapat cuci tangan sepenuhnya, karena kitalah yang telah mendegradasikan peran lelaki hanya sebatas pencari nafkah. Lingkunganlah yang menciptakan para suami yang rasional, namun sekaligus miskin emosional dan kepekaan batin. Budayalah yang melahirkan ayah-ayah yang besar kepala, namun kecil hati.
Allah, rasulNya dan agama sama sekali tak dapat dipersalahkan dan turut bertanggung jawab. Karena titah agama teramat jelas, bahwa lelaki adalah pemimpin, suami, ayah, dan teman dalam rumah tangganya. Sedangkan mencari nafkah hanyalah alat bantu untuk menjalankan segala peran dan tanggung jawab itu.
Adalah kita yang harus memulai perubahan dan melahirkan kembali Luqmanul Hakim-Luqmanul Hakim yang baru. Khotbah-khotbah Jumat perlu membahas tentang menjadi suami. Kantor-kantor tempat lelaki mencari nafkah perlu mengadakan kajian kerumahtanggaan. Masjid-masjid pasar tempat sang ayah berdagang perlu berceramah tentang pendidikan anak. Seminar-seminar komersial dan para penerbit buku perlu peduli dengan tema lelaki dan rumah tangga.***
Wallahu'alam bishshowab...
(diolah dari e-mail seorang teman kepada suaminya dan artikel "Dicari... Suami Ideal!!")
BojSar'29'11'12 (22'18'10)
Mbak...salam kenal dari saya,
BalasHapussetiap orang memang memiliki cerita, saya juga. Hampir sama dengan cerita mbak. Bila sedang sensitif, saya akan nangis bersembunyi dalam sholat maupun tidurku. Solusinya ya...sabar, berdoa dan membicarakannya dgn kepala dingin.
Salam kenal juga mbak Astin...
HapusSolusinya boleh juga tuh ditiru...
Itulah pentingnya jalinan komunikasi antara suami-istri (butan begitcu??) hehe
salam kenal mbak, tulisannya sangat menginspirasi khususnya utk saya. boleh saya tiru caranya itu mbak?^_^
BalasHapusSalam kenal juga mbak Rita Dewi,
Hapusalhamdulillah kalo bisa jadi inspirasi...hehe