Ilustrasi: andibm.blogspot.com |
“Ustadz, saya selalu
ingat nasehat Ustadz bahwa banyak akhwat masih sendiri yang ingin segera
memiliki suami. Saya berusaha mengambil nilai plus dari mas Zayid.
Alhamdulillah ia seorang lelaki soleh, baik,lembut dan sabar. Dia selalu mensupport
semua pekerjaan saya. Sayang anak. Ini yang membuat saya merasa tenang dan tidak
bisa dihargai apalagi ditukar dengan apapun. Nuwun sanget selalu diingatkan
bersyukur punya suami, daripada sendiri dan galau...
Karena sejak menikah dengan mas Zayid,kami sama-sama tidak punya pekerjaan tetap, namun alhamdulillah keadaan ekonomi kami tetap dicukupi Allah. Saya yakin, ini adalah bagian kesolehan dia yang selalu solat tepat waktu dan rajin berdoa. Kami berjanji akan terus berusaha mencari nafkah bersama-sama.
Bisa membangun rumah, membeli mobil,liburan, membahagiakan orangtua dan keluarga. Hanya dari Allah’lah rejeki itu. Karena jika dihitung secara matematis kami gak ada gaji pasti.
Ustadz,yang harus kami pelajari saat ini adalah, jangan takut akan kehilangan rejeki Allah dan bagaimana masa depan anak-anak kelak? Serahkan sepenuhnya pada kehendak Allah. Itu ustad. Ini semua adalah simbol ketakutan wanita yang belum sepenuhnya tawakal, seperti saya.”
Itulah beberapa baris
sms yang dikirimkan ustadz Ahmad kepadaku. Jleb,
rasanya langsung mengena dan tiba-tiba mataku terbuka akan kebutaanku memandang
rendah posisi suamiku. Selama ini ia kuvonis sebagai “lelaki yang senang
berlindung di bawah ketiak istri”. Sebuah cap yang tentunya akan sangat menyinggung
perasaan suamiku atau lelaki manapun, jika dia tahu stempel yang dibubuhkan
istrinya tepat ke keningnya itu.
---------------
Pagi tadi aku memenuhi
undangan ustadz Ahmad untuk mampir ke rumahnya, karena beliau mau menyerahkan
uang hasil penjualan buku saku yang kuproduksi. Sebenarnya yang disuruh datang adalah
mas Gandhi, namun suamiku ini sedang bertugas di Indonesia bagian Timur.
Kesempatan ini sangat
kutunggu-tunggu. Sudah lama aku ingin berkonsultasi dengan Ustadz, serasa sudah
diubun-ubun dan siap meledak semua beban yang selama ini kupikul. Bagaimana tidak?
Selama hampir duapuluh tahun pernikahan kami, aku laksana tulang punggung
keluarga. Hampir semua keperluan keluarga, aku yang memenuhinya, termasuk biaya
pendidikan anak-anak. Mas Gandhi hanya kuharapkan mampu menyelesaikan cicilan
rumah kami, yang entah kapan akan direnovasi. Menunggu ambruknya, barangkali.
Itupun ia tertatih-tatih. Hampir setiap bulan kudengar keluhannya dikejar-kejar
debt colector.
Yah, terasa terlalu
sombong bukan? Tetapi itulah kenyataannya. Maka, betapa mengenanya (sakitnya itu di sini nih, sambil menunjuk
dada), saat Ustadz meneruskan sms-sms dari salah seorang jama’ahnya
tersebut kepadaku.
Maluuu rasanya diri ini.
Membayangkan, betapa tak bersyukurnya aku. Sudah diberi suami idaman (sopan,
pengertian, sayang keluarga, sederhana, taat beribadah dan tidak pernah neko-neko), tapi masih saja menuntut
kesempurnaannya. Seolah aku adalah perempuan paling sempurna di dunia.
Hanya gara-gara mas
Gandhi tidak mempunyai pekerjaan tetap, aku menganggap rendah dirinya, aku
sering mengabaikan bahwa dia adalah kepala keluarga, aku sering mengambil
keputusan sendiri tanpa pernah meminta pertimbangannya. Terakhir aku mengambil
sebuah keputusan terbesar bagi kelangsungan pendidikan anak-anak kami dan
lagi-lagi aku tidak meminta pendapatnya, karena aku beranggapan “Toh dia jarang
berkontribusi dalam pembiayaan pendidikan anak-anak kami”. Hasilnya dapat
diduga, mas Gandhi marah besar, namun syukurlah akhirnya dia mau menerima
(tepatnya terpaksa menerima) keputusan “gila’ku itu. Bahkan kini, dia menjadi
sebangsa jubir, menerangkan kenapa anak-anaknya melaksanakan pendidikan seperti
itu.
Sekali lagi harus
kuakui, selama ini mata hatiku telah tertutup oleh luapan emosi sebagai
perempuan dan mengabaikan bahwa rejeki itu hak prerogatif Allah semata. Kita
manusia hanya diminta untuk berusaha dan berdoa. Sebagaimana Allah swt telah mengingatkan dalam surat Al Baqoroh (QS 2): 212: "Dan Allah memberi rezeki kepada yang Dia kehendaki tanpa perhitungan"
Terimakasih Ustadz Ahmad,
karena telah membuka wawasan dan pikiranku. Sekarang hatiku mulai tenang dan
tiba-tiba kumerasa merindu...rindu yang teramat sangat kepada kekasih hatiku, sang
belahan jiwa, yang sedang berjuang nun jauh di sana, di timur Indonesia, demi
memperoleh rejeki halal yang kelak kan dipersembahkan bagi keluarganya
tercinta.
Maafkan istrimu, Mas.
Selama ini aku telah mengabaikan hak-hakmu, selama ini aku terlalu menuruti
kata hatiku dan sempat membuatmu menderita dalam kesendirian. Kuharap
sepulangmu esok, kita dapat merancang masa depan bersama tuk menggapaikan ridho
Allah semata, karena ku tak ingin menjadi istri durhaka....
Mba..begitulah syaithan dengan mudahnya menutupi nikmat yang Alloh berikan..tks untuk sharingnya..kunjungi balik yaa..;)
BalasHapusIya, ummi Aleeya.... Terkadang kita hanya melihat hal-hal negatif saja dan melupakan aspek positif yang dimiliki pasangan kita..
HapusMakasih udah berkunjung, insya Allah langsung meluncur kunbal... :-D
nikmat manakah yang telah engkau dustakan, itulah kalimat yang berulangkali diingatkan Allah untuk manusia, hiks, semoga kita termasuk orang2 yang mensyukuri nikmatNya
BalasHapusBenar mb Dina... Allah sudah mengingatkan sebanyak 31x dalam surat Ar rahman.. Fabiayyi alaa'i robbikuma tukadziban... Makasih sudah berkunjung. Siap2 nerima kubal yaa... :-)
Hapussemoga kita semua termasuk orang-orang yang pandai bersyukur, karena dengan banyak bersyukur, nikmatNya semakin bertambah
BalasHapusaamiin... semoga ya mb Nurul... Makasih udah mampir. Giliran saya maen2 ke sana yaa... :-)
Hapusterkadang pikiran-pikiran seperti ini sering muncul dalam benak saya, apalagi kalau dah capek ufff semoga selalu diingatkan dan istighfar untuk tak sombong terhadap suami. makasih sharingnya mbak
BalasHapusSama-sama mb Wida... Semoga kita terhindar dari sifat sombong terhadap suami dan menerima beliau apa adanya, toh kita juga bukan manusia yang sempurna kan? Terimakasih sudah mampir... :-)
Hapusterima kasih sharingnya teh gina,nyungsepnya itu disini...(jleb!nunjuk dada,he..he..) semoga ini menjadi pelajaran berharga agarkita semakin menghargai suami. kunjung balik ya..nengokin "rumah" saya..
BalasHapusTernyata banyak perempuan bermasalah sama yaa...hahaha... Yuk, mari merapatkan barisan dalam satu atap "perempuan bersuamikan "lelaki akhir jaman" (lelaki idaman minus pekerjaan tetap) :-D
HapusInsya Allah meluncur ke rumah mb Alika... makasih sudah berkunjung....
nice, terimakasih atas kisahnya.. aku juga pernah begini :-)
BalasHapusTernyata, yah...Bunda Shidqi... Yang namanya perempuan, seringkali mengutamakan ego, padahal sesudah bisa berfikir tenang, keadaan tentu akan membaik... Terimakasih sudah berkunjung :-D
Hapusninggalin komen, ah...bukti aku udah ke sini....xixixi...
BalasHapuswaduh, ada kunjungan istimewa dari tamu spesial niih.. Monggo dicicipi hidangan seadanya :)
Hapus